Entri Populer

Sabtu, 18 Desember 2010



Butuh Keberanian untuk Bisa Takut Kepada Istri


Takut istri itu terasa seperti aib 

besar, sangat tidak pria, memalukan, bukti kelemahan dan sebagainya. Lantas apakah meremehkan istri itu prestasi agung, sangat pria, membanggakan, bukti kekuatan dan semacamnya?

Bukankah bisa saja, suami yang takut pada istrinya, adalah suami yang takut merusak pernikahannya, adalah ayah yang takut merampas hak anak-anaknya untuk dibesarkan dalam keluarga yang utuh dan tidak senantiasa rusuh bergemuruh?
Bukankah bisa saja, mereka justru pria sesungguhnya pria, yang mengerti bahwa perempuan itu lebih "fragile", lebih mudah terluka, sehingga harus lebih berhati-hati "menanganinya?"
Juga, apa yang hendak dibuktikan para suami, dengan menunjukkan betapa dia sama sekali tak takut kepada istrinya, dan justru istrinya yang ketakutan setengah mati padanya? "Gua melotot aja, bini gua langsung keder, huahahaha!" Hebat gitu, bisa nakut-nakuti perempuan, dengan tatapan, bentakan atau bahkan pukulan? Dulu, mungkin. Tapi sekarang sih, yang hebat itu seperti Manny Pacquiao, yang bisa membuat lawan-lawannya, pria-pria yang sangat terlatih, kuat, dan bertubuh lebih besar, ketakutan dan hanya bisa berlari-lari menghindar di atas ring.
Istri adalah inti keluarga. Menghormatinya adalah menghormati keluarga, takut membuatnya marah adalah takut membuat keluarga bermasalah.
Tapi cukup dihormati dong, tidak usah ditakuti.
Rasa hormat tak mungkin sungguh-sungguh ada tanpa rasa takut di dalamnya. Tapi takut bukanlah tunduk. Emangnya takut sama kecoa sama dengan tunduk kepada kecoa? (Eh, kayaknya ini komparasi yang kurang tepat deh). Jadi, itu lebih kepada keengganan untuk membuat masalah dengannya. Sejauh keinginannya bisa dituruti, apalagi alasannya bisa diterima, ya dituruti. Selama "larangannya" pantas diikuti, apalagi seringkali itu untuk kebaikan si suami sendiri, ya diusahakan diikuti.
Mengapa? Karena jika dia senang, dia akan menjadi lebih baik dalam banyak hal; ibu yang lebih baik untuk anak-anak, istri yang lebih baik bagi suami, bahkan menantu yang lebih baik bagi mertuanya. Anaknya adalah anakmu, suaminya adalah dirimu, mertuanya adalah Mbapakmu! Membuatnya bahagia tak lain adalah membahagiakan dirimu sendiri...
Bukankah dengan begitu istri akan ngelunjak, menjadi sok berkuasa? Mungkin dalam satu dua kasus itu terjadi, tetapi umumnya tidak. (Kayaknya sih...)
Justru karena suami yakin seorang istri dikodratkan "mengikut" suaminya, dia yakin, hanya dengan memberinya lebih banyak otoritas, penghormatan, dan "kepatuhan" dia tidak akan serta merta menjadi penguasa.
Mereka yakin, hati seorang wanita "didesain" untuk mengikut, turut, hormat, patuh dan setia kepada pria yang dicintainya. Tentu saja, selama pria itu memang membuat dirinya pantas diikuti, dituruti, dihormati, dipatuhi, dan disetiai.
Saya sendiri, sedang berusaha dan belajar untuk lebih takut kepadanya, apalagi setelah ibu saya, wanita yang paling saya hormati sudah tiada, dan anak perempuanku, wanita yang harus kujaga sekuat jiwa raga, sudah dan akan terus tumbuh mendewasa.
Tak perlu malu takut dan "tunduk" sama istri. Daripada yang takut dan tunduk sama selingkuhan?

Maaf Rumpiers, sampai sini dulu ya, bini nelepon nih... Kalo ngga diangkat, bisa gawat! ha hahahah.hahahahah!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar